Sabtu, 29 September 2012

NASIB cerpen





NASIB

Bupati murka. Tersinggung karena beberapa warga kota lancang mau mengguruinya. Mereka menuduhnya tidak tekun mengikuti nasib rakyat. Gegabah menanggapi penderitaan kota.
Karena penanggulangan masalah wabah muntaber, perkelahian sesama warga, kecelakaan bus, perampokan, dan berjenis-jenis masalah kota seakan-akan tidak berarti. Sebaliknya, usaha pengiriman dua putri daerah lengkap dengan kontingen penasihatnya ke pusat, untuk mengikuti Perlombaan Mengenakan Kebaya dan Kontes Sanggul Tradisional, jauh lebih penting.
“Coba bayangkan!” kata Bupati itu dengan pedas, tegas, dan galak di hadapan stafnya. “Mengenai pengiriman utusan kita guna mengikuti kontes kebaya dan sanggul itu, motivasiya jelas. Ini kelihatannya saja sepele. Tapi artinya besar sekali. Coba ingat dengan sejujur-jujurnya. Bertahun-tahun kota kita selalu dilupakan. Segala bantuan, fasilitas, dan perhatian pusat entah mengapa, lewat begitu saja. Melintas tidak pernah nyaplok ke mari. Dengan kemenangan kedua wakil kita itu di forum pusat, meskipun hanya sebagai pemenang harapan, berarti kita sudah meletakkan batu pertama. Setidak-tidakya mulai sekarang orang-orang di pusat itu terpaksa berhenti dua detik, sebelum kembali melupakan kota kita. Mulai sekarang, kita akan perhitungkan. Lihat!”
Ia menarik sebuah surat dari tasnya. Lantas membeberkannya di atas meja dengan mata nyalang.
“Lihat!” serunya dengan beringas. “Ini ucapan selamat sekaligus sebuah berita bahwa minggu depan kita akan mendapat kunjungan beberapa wakil pusat yang akan meninjau kota ini. Ini baru permulaan. Nanti kalau bantuan sudah datang, jangan sampai lupa ini semua sudah dimulai dengan usaha yang kelihatannya saja sepele. Dua warga kita yang cantik sudah menjadi pahlawan. Hasilnya akan dibuktikan di masa depan. Saya sebagai bupati wajib menyadari hal ini, sementara kalian mungkin tidak. Ya nggak?!”
Para pembantunya mengangguk-angguk dengan terpaksa. Beberapa orang yang menyimpan koran yang berisi wabah muntah berak, cepat-cepat menyembunyikan kotorannya. Mereka tahu harus belajar berpikir satu, seia dengan apa yang sudah ditancapkan oleh Bupati.
Beberapa hari kemudian, dalam upacara penyambutan kemenangan kedua wanita itu, Bupati kembali berapi-api.
“Saya bukannya tidak tahu berapa korban muntah berak. Berapa kerugian bencana kebakaran dan tanah longsor. Saya tahu berapa jumlah persis korban banjir dan kelaparan di daerah kita. Bahkan saya tahu berapa orang maling yang sekarang tiap hari menggalak. Pun saya tahu dengan tepat bahwa tiga puluh orang mati akibat tabrakan bus dua bulan lalu. Tapi saudara-saudara coba berpikir panjang. Apa artinya itu semua, kalau dengan kemenangan ini nanti semua itu akan kita ganjal? Dengan adanya kemenangan ini, pusat akan mulai memperhatikan kita. Lalu bantuan mengalir. Kesehatan dan rumah-rumah sakit akan dibangun. Jalan diperbaiki. Keamanan disempurnakan. Pembangunan dan kemakmuran diusahakan. Pendeknya, segala kesulitan akan kita atasi. Apakah itu tidak penting?
Perlukah saya berlomba-lomba menangis sekarang, pada hal tangis tidak bisa menghidupkan orang-orang yang mati itu? Tangis tidak bisa memulihkan kembali apa yang sudah hilang? Itulah sebabnya saya mengadakan selamatan di tangah-tengah bencana kita. Kita harus optimis. Kita harus membangun masa depan yang lebih baik buat anak-cucu kita. Kedua wanita kita ini, dengan kemenangannya, merupakan peristiwa yang paling penting tahun ini, saya kira. Kalau saudara-saudara masih belum mengerti, kelak saya percaya, kalau hasilnya sudah nyata, kalian akan dapat memaklumi segala tindakan saya sekarang ini. Saya tidak buta. Saya bukan tidak peka. Justru sebaliknya! Saya sangat terbuka! Sangat peka dan memperhatikan nasib saudara-saudara semua!”
Bupati masih panjang berbicara. Istrinya dari kursi penonton memberi isyarat supaya ia segera menyelesaikan pledoinya itu. Malam hari, ketika mereka sudah kembali ke ranjang, wanita itu berbisik di telinga suaminya:
“Papy, apa Papy betul-betul yakin apa yang Papy katakan tadi di depan mereka?”
Bupati memandang ke tembok, lalu berkata hampa.
“Sebenarnya tidak.”
“Lho?”
“Habis apa lagi yang bis dilakukan? Aku kira mereka memerlukan sebuah jawaban. Dan aku harus mengatakannya dengan yakin, meskipun aku belum tentu setuju. Ini sudah nasib kita!”
Istrinya terdiam mengerti. Kemudian keduanya berpelukan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar