NASIB
Bupati murka. Tersinggung karena beberapa warga kota lancang mau
mengguruinya. Mereka menuduhnya tidak tekun mengikuti nasib rakyat. Gegabah
menanggapi penderitaan kota.
Karena penanggulangan masalah wabah muntaber, perkelahian sesama warga,
kecelakaan bus, perampokan, dan berjenis-jenis masalah kota seakan-akan tidak
berarti. Sebaliknya, usaha pengiriman dua putri daerah lengkap dengan kontingen
penasihatnya ke pusat, untuk mengikuti Perlombaan Mengenakan Kebaya dan Kontes
Sanggul Tradisional, jauh lebih penting.
“Coba bayangkan!” kata Bupati itu dengan pedas, tegas, dan galak di hadapan
stafnya. “Mengenai pengiriman utusan kita guna mengikuti kontes kebaya dan
sanggul itu, motivasiya jelas. Ini kelihatannya saja sepele. Tapi artinya besar
sekali. Coba ingat dengan sejujur-jujurnya. Bertahun-tahun kota kita selalu
dilupakan. Segala bantuan, fasilitas, dan perhatian pusat entah mengapa, lewat
begitu saja. Melintas tidak pernah nyaplok ke mari. Dengan kemenangan kedua
wakil kita itu di forum pusat, meskipun hanya sebagai pemenang harapan, berarti
kita sudah meletakkan batu pertama. Setidak-tidakya mulai sekarang orang-orang
di pusat itu terpaksa berhenti dua detik, sebelum kembali melupakan kota kita. Mulai
sekarang, kita akan perhitungkan. Lihat!”
Ia menarik sebuah surat dari tasnya. Lantas membeberkannya di atas meja
dengan mata nyalang.
“Lihat!” serunya dengan beringas. “Ini ucapan selamat sekaligus sebuah
berita bahwa minggu depan kita akan mendapat kunjungan beberapa wakil pusat
yang akan meninjau kota ini. Ini baru permulaan. Nanti kalau bantuan sudah
datang, jangan sampai lupa ini semua sudah dimulai dengan usaha yang
kelihatannya saja sepele. Dua warga kita yang cantik sudah menjadi pahlawan. Hasilnya
akan dibuktikan di masa depan. Saya sebagai bupati wajib menyadari hal ini,
sementara kalian mungkin tidak. Ya nggak?!”
Para pembantunya mengangguk-angguk dengan terpaksa. Beberapa orang yang
menyimpan koran yang berisi wabah muntah berak, cepat-cepat menyembunyikan
kotorannya. Mereka tahu harus belajar berpikir satu, seia dengan apa yang sudah
ditancapkan oleh Bupati.
Beberapa hari kemudian, dalam upacara penyambutan kemenangan kedua wanita
itu, Bupati kembali berapi-api.
“Saya bukannya tidak tahu berapa korban muntah berak. Berapa kerugian
bencana kebakaran dan tanah longsor. Saya tahu berapa jumlah persis korban
banjir dan kelaparan di daerah kita. Bahkan saya tahu berapa orang maling yang
sekarang tiap hari menggalak. Pun saya tahu dengan tepat bahwa tiga puluh orang
mati akibat tabrakan bus dua bulan lalu. Tapi saudara-saudara coba berpikir
panjang. Apa artinya itu semua, kalau dengan kemenangan ini nanti semua itu
akan kita ganjal? Dengan adanya kemenangan ini, pusat akan mulai memperhatikan
kita. Lalu bantuan mengalir. Kesehatan dan rumah-rumah sakit akan dibangun. Jalan
diperbaiki. Keamanan disempurnakan. Pembangunan dan kemakmuran diusahakan. Pendeknya,
segala kesulitan akan kita atasi. Apakah itu tidak penting?
Perlukah saya berlomba-lomba menangis sekarang, pada hal tangis tidak bisa
menghidupkan orang-orang yang mati itu? Tangis tidak bisa memulihkan kembali
apa yang sudah hilang? Itulah sebabnya saya mengadakan selamatan di
tangah-tengah bencana kita. Kita harus optimis. Kita harus membangun masa depan
yang lebih baik buat anak-cucu kita. Kedua wanita kita ini, dengan
kemenangannya, merupakan peristiwa yang paling penting tahun ini, saya kira. Kalau
saudara-saudara masih belum mengerti, kelak saya percaya, kalau hasilnya sudah
nyata, kalian akan dapat memaklumi segala tindakan saya sekarang ini. Saya tidak
buta. Saya bukan tidak peka. Justru sebaliknya! Saya sangat terbuka! Sangat peka
dan memperhatikan nasib saudara-saudara semua!”
Bupati masih panjang berbicara. Istrinya dari kursi penonton memberi
isyarat supaya ia segera menyelesaikan pledoinya itu. Malam hari, ketika mereka
sudah kembali ke ranjang, wanita itu berbisik di telinga suaminya:
“Papy, apa Papy betul-betul yakin apa yang Papy katakan tadi di depan
mereka?”
Bupati memandang ke tembok, lalu berkata hampa.
“Sebenarnya tidak.”
“Lho?”
“Habis apa lagi yang bis dilakukan? Aku kira mereka memerlukan sebuah
jawaban. Dan aku harus mengatakannya dengan yakin, meskipun aku belum tentu
setuju. Ini sudah nasib kita!”
Istrinya terdiam mengerti. Kemudian keduanya berpelukan.